Saat ini sedang menempuh pendidikan di STKIP Al-Hikmah Surabaya sebagai Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia semester tujuh (7). Seseorang yang suka belajar terutama hal yang terhubung dengan pendidikan, literasi, pemberdayaan masyarakat dan lingkungan. Seorang yang intuitif, pekerja keras, mudah beradaptasi dan kreatif serta cepat tanggap dan gigih.

Belajar dari Gagalnya Timnas: Cermin Kedewasaan Sepak Bola Indonesia

9 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pemain Timnas Irak, Zidane Iqbal, merayakan keberhasilannya mencetak gol ketika melawan Timnas Indonesia di King Abdullah Sports City Stadium, 12 Oktober 2025. Dok. AFC
Iklan

Kegagalan Timnas bukan akhir, tapi cermin untuk belajar tentang harapan, proses, dan kedewasaan mencintai sepak bola Indonesia.

Fans Timnas

Setiap kali peluit panjang berbunyi menandakan akhir laga, ada sesuatu yang lebih dari sekadar angka di papan skor. Ada harapan yang runtuh, ada mimpi yang menepi. Begitu juga malam itu, ketika Timnas Indonesia gagal melaju ke Piala Dunia. Bukan hanya pemain yang tertunduk, tapi juga jutaan pasang mata yang menatap layar dengan dada sesak.

Di banyak tempat, suasana menonton bareng mendadak senyap. Gelas kopi dibiarkan setengah penuh, obrolan berhenti di tengah kalimat, dan layar televisi hanya menyisakan bayangan pemain yang menutupi wajah dengan tangan. Kekalahan ini terasa personal. Seolah bukan hanya tim yang kalah, tapi juga bagian kecil dari diri bangsa ini yang ikut roboh.

Namun, mungkin di situlah makna yang sebenarnya dari sepak bola bagi Indonesia. Ia bukan sekadar pertandingan. Ia adalah ruang bersama tempat rakyat menaruh keyakinan, tempat luka kolektif dan optimisme nasional bersinggungan. Kita jarang punya hal lain yang bisa menyatukan rakyat dari Sabang sampai Merauke secepat sebuah gol.

Gagal ke Piala Dunia memang menyakitkan. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita belajar dari kegagalan itu—bukan sebagai cemoohan, melainkan cermin. Ada hal-hal yang tak bisa ditambal dengan strategi instan: pembinaan jangka panjang, kultur kompetisi yang sehat, dan rasa tanggung jawab moral di setiap lini, dari federasi sampai suporter.

Sepak bola kita tumbuh di tengah cinta yang terlalu besar tapi kesabaran yang terlalu kecil. Kita ingin kemenangan cepat, namun abai pada pondasi. Padahal, sepak bola—seperti juga kehidupan—membutuhkan waktu, disiplin, dan pengakuan terhadap proses.

Bisa jadi, kegagalan kali ini adalah cara semesta mengingatkan kita: bahwa cinta sejati tidak berhenti di euforia, tapi tetap setia bahkan di masa kalah. Mungkin inilah waktunya berhenti menyalahkan dan mulai menata ulang cara kita mencintai Timnas—lebih dewasa, lebih berempati, dan lebih sabar menunggu hasil kerja keras yang sesungguhnya.

Karena sepak bola bukan hanya soal juara. Ia tentang bagaimana bangsa ini belajar berdiri lagi setelah jatuh, tanpa kehilangan gairah untuk mencintai.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler